Selasa, 16 Juli 2013

denial

sometimes, the reality makes people don't want to wake up and smell the coffee, because they are afraid to feel the pain.
they choose to live in the warm blanket of denial instead.
udah tau, tapi berpura-pura gak tau dan gak mau tau.
mungkin buat orang-orang yang kayak gini, hidup di alam mimpi berselimutkan gelembung kebohongan dan pengingkaran terasa lebih nyaman, karena dunia luar menawarkan kebenaran yang menyakitkan.
kejujuran memang menyakitkan dan menghancurkan.
namun setelah seseorang terbiasa dengan kejujuran dan kebenaran, dia akan tersenyum lagi sambil minum teh dan makan kue, sambil mentertawakan kebodohannya saat masih hidup dalam cangkang penyangkalan.
tapi itu nanti, di fase terakhir.
sometimes, acceptance is the hardest thing to do.
not because we can't, but because we just don't want to.
we hold on to things that are no longer there, because we are not ready lo let go.

taken from: the not so amazing life of @amrazing - alexander thian

Kamis, 11 Juli 2013

pak tua

pak tua yang biasanya berbaring di undakan depan deretan toko, tidak kutemui hari ini. kemana kira-kira pak tua itu? apa udara dingin karena hujan sehari semalam jadi sebab tak kulihat dia? sebungkus roti yang kusiapkan dari rumah, yang tadinya berniat kuberikan padanya, masih kupegang.

Kamis, 20 Juni 2013

waktu & rumput


waktu bukan rumput yang bisa diajak berbincang. waktu akan menyeret ragamu, tidak kenanganmu. aku katakan ya, rumput adalah pendengar setia yang akan selalu menari bersama angin  walau kamu ceritakan kesedihan sekali pun.

lucu


aku benci kebiasaannya tertawa sebelum mulai menceritakan hal yang menurutnya lucu. dia tertawa terkekeh, lalu mulai bercerita. ceritanya tidak lucu. sampai pada akhir cerita, aku tidak juga menemukan satu titik kelucuan. tapi, dia tetap tertawa. demi penghargaan atas jerih payah dan waktu dia bercerita, aku ikut tertawa kecil dipaksakan. tanpa menunggu lagi, kualihkan pembicaraan.

nightingale untukku


aku duduk dan bersandar di sofa, memejamkan kedua mata, mendengarkanmu membacakan sebuah nightingale. teh di atas meja yang tadi kau tuang ke dalam dua mug bergambar menara eiffel, yang masing-masing kita akui sebagai mug kita walau pastinya aku dan kamu tak lagi yakin mana yang punyamu dan mana yang milikku, masih mengepulkan asap karena kau seduh seluruhnya dengan air panas.

tak berarti hujan


aku bilang padamu, kamu datang seperti mendung, tak terduga, tak dikira. menutupi cerahnya hari, cerahnya hati tanpa permisi. kamu hanya berdiam tanpa kutahu apa yang ada di benakmu, seperti mendung yang masih belum memutuskan untuk mengirim rintiknya ke bumi, ke hatiku. kemudian, kamu berbalik pergi. benar kata orang, mendung tak berarti hujan.