Selasa, 27 Desember 2011

Tentang Yang Tiga

Tiga…
            Tiga sudah seperti angka keramat bagi kita.
            Tiga sudah seperti angka keramat bagi kami.
            Tiga sudah seperti angka keramat bagi aku, dan kamu, dan kamu.
           
Apa yang begitu istimewa tentang tiga sih?
Cuma kami yang tahu. Cuma kami yang mengerti. Cuma kami yang paham. Cuma kami…
           
Lalu, dimana istimewanya?
Kalau diceritakan pasti akan biasa-biasa saja buat orang lain. Tapi tidak untuk kita, kami, aku, dan kamu, dan kamu…

            Biasa-biasa yang bagaimana?
            Yang orang lain sepertinya tahu, yang orang lain sepertinya mengerti, yang orang lain sepertinya paham. Tapi ternyata tidak…

            Mengapa bisa begitu?
            Entahlah…

            Kenapa memilih tiga sih? Kenapa tidak genap empat? Tiga bisa jadi angka sial lho. Kepercayaan tradisional kita saja melarang kalau kita berfoto bertiga. Harus ada yang menggenapkan. Yang tengah bisa cepat mati. Yang tengah bisa pergi jauh. Yang tengah bisa kenapa-kenapa.
            Aaaaaah, itu kan takdir namanya kalau memang terjadi. Atau malahan bisa saja hanya kebetulan yang tidak terduga.

            Lalu, apa yang terjadi sih sebenarnya?
            Tiga terbagi tiga…

            Kemana?
            Menelusuri jalan yang memang seharusnya tidak dilewati bertiga, karena dari awal seharusnya memang tiga tidak pernah bisa jadi satu. Tiga ya tiga…

            Cerita yang tertulis?
            Tentang tiga yang mencoba satu. Tentang tiga yang mencoba membawa empat dan lima jadi satu.

            Enam?
            Tidak pernah ada enam sewaktu tiga masih bersama.

            Apa cerita si satu?
            Keceriaan… Pengharapan… Kebohongan putih… Kenaifan… Kecerobohan… dan melupakan…

            Apa cerita si dua?
            Keceriaan… Pengharapan… Kebodohan yang berulang… Pengingkaran hati… Ketakutan…  dan melupakan…

            Apa cerita si tiga?
            Keceriaan… Pengharapan… Kehampaan… Kemunafikan… Kesedihan… dan tersakiti…

            Empat dan Lima?
            Hanya tambahan… Tambahan yang sedikit banyak membuat tiga terbagi tiga.

            Enam?
            Tidak pernah ada enam sewaktu tiga masih bersama.

            Ada ceria dan pengharapan. Samakah?
            Sama… Keceriaan karena bertiga. Pengharapan yang dibangun bertiga  yang berpondasikan keceriaan belaka. Mana ada yang kokoh kalau pondasinya hanya seonggok ceria. Pengharapan bodoh akan tiga menjadi satu. Konyol…

            Lalu, melupakan siapa?
            Semuanya. Semua yang tiga.

Karena?
Entahlah… Tanyakan pada yang lebih tahu…

Begitu saja?
Ya. Begitu saja. Tapi tetap dengan proses dong.

Proses yang bagaimana?
Yang menyakitkan secara tidak langsung. Yang tidak berurai air mata tapi sebenarnya sedih. Yang tidak akan terucapkan oleh bibir yang memendam semuanya hanya sampai di tenggorokan. Yang tertutupi oleh senyum ceria yang dibuat-buat tapi sebenarnya penuh penyesalan. Yang terasa begitu cepat tapi sebenarnya sangat lama. Yang masih menyisakan banyak rasa dan pertanyaan. Yang tiga masih ingin tetap tiga. Yang terjadi begitu saja…

Kenapa harus ada yang tersakiti?
Entahlah…

Maksudnya?
Mungkin memang masih terlalu sakit untuk diungkapkan langsung.

Tersakiti karena apa? Karena siapa?
Bisa jadi karena keceriaan yang hilang. Bisa jadi karena pengharapan yang ternyata semu dan hanya omong kosong belaka.

Wah, bisa jadi kemarahan ya?
Tentu saja. Kecewa dan marah kan masih saudara. Aku sering lihat mereka bergandengan tangan.

Seseru apa sih masa bertiga?
Hmmm… seseru apa ya… seru sekali.

Masa cuma segitu?
Iya. Cuma segitu bagi semua orang, tapi segalanya bagi kita, kami, aku, dan kamu, dan kamu.

Bagaimana awalnya tiga memutuskan untuk terbagi tiga?
Tidak pernah ada keputusan karena terjadi begitu saja. Jalan yang membentang tiga jadi penyebab utama. Di tiap-tiap ujung jalan ada empat dan lima yang menunggu.

            Enam?
            Tidak pernah ada enam sewaktu tiga masih bersama.

            Setelah tiga terbagi tiga?
            Tidak ada juga.

Kenapa bisa begitu?
            Hanya tiga yang tahu…

            Sekarang dimana tiga yang terbagi tiga?
            Kulihat masih menyusuri jalan masing-masing. Tapi sesekali masih menoleh ke belakang.

            Mungkin ingin kembali?
            Terlambat…

            Apa yang kira-kira berkecamuk di dalam pikiran masing-masing?
            Entahlah… Aku bukan pembaca pikiran.

            Memikirkan tentang yang sudah lewat?
            Akan Lebih bagus begitu. Biar masing-masing punya satu cerita tentang masa-masa indah yang akan kekal di hati. Coba saja untuk melupakan, paling juga hanya sesaat. Aku berani bertaruh sesaat setelah mereka merasa sudah melupakan, mereka akan kembali teringat bahkan dua kali lebih banyak.

            Mungkinkah mereka kembali mencoba jadi satu?
            Mungkin saja, walau tidak mungkin lagi. Sudah terlambat.

            Tidak ada yang terlambat untuk mencoba kan?
            Tidak ada. Tapi tidak untuk mereka. Sudah terjadi. Jalan kembali sudah tertutup oleh kemarahan hati dan penyangkalan keadaan.

            Ada penyebab lain?
            Selalu ada.

            Empat dan lima?
            Mungkin…

            Enam?
            Tidak pernah ada enam sewaktu tiga masih bersama, dan tidak ada enam juga setelah semuanya.

            Ego?
            Itu juga…

            Rasa malu?
            Sudah pasti…

            Kau tahu banyak ya?
            Iya.

            Siapa yang bercerita padamu?
            Waktu.

            Bagaimana bisa?
            Aku ikut di dalam waktu yang bergulir.

            Memangnya siapa kamu?
            Tiga…

                                                                                                                                                        11.06.07



*pernah dimuat di  Kumpulan Cerpen Writers4Indonesia: Be Strong Indonesia, #delapan