Selasa, 18 November 2014

van, kamu dimana?


andai tidak kuabaikan bunyi ‘bip bip’ berulang yang terasa mengesalkan itu, aku tidak akan berada pada situasi sekarang ini. menyesal tidak akan mengembalikan waktu. yang harus kulakukan satu-satunya hanyalah bergegas, sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdegup sangat kencang, mengatasi ketakutanku pada apa yang bisa saja menimpaku nantinya.

bergadang nyaris semalaman menyelesaikan proyek kecil untuk pelajaran fisika akan jadi sia-sia kalau aku terlambat ke sekolah pagi ini. sudah perjanjian tak tertulis di kelas fisika, pak sanip akan mengeluarkan siapapun yang terlambat. aku tak mau perjuanganku sia-sia. uang saku yang terpaksa tersisih untuk membeli bohlam, kabel dan beberapa perangkat listrik lainnya, belum lagi harus mengendap-endap di rumah tetangga yang baru dibangun hanya untuk ‘meminjam’ sebidang kecil tripleks untuk alas menempelkan si bohlam dan kawan-kawannya, serta yang paling utama adalah waktu tidur yang terpaksa dikorbankan di atas segalanya. aku suka tidur. aku bisa tidur dimana saja jika memungkinkan pada saat mataku menyerah kalah pada kantuk. kenyataan bahwa aku merelakan tidurku tadi malam adalah bentuk keteguhanku mengerjakan proyek ini.

oke, sejujurnya tidak sepenuhnya proyek ini kukerjakan dengan keikhlasan seorang murid teladan. aku mengerjakannya demi mengejar ketinggalanku pada pelajaran ini. nilai-nilaiku sepanjang semester ini tidak memuaskan. dijanjikan nilai yang cukup untuk meloloskanku semester ini, maka keberhasilan proyek kecil ini adalah tiketnya. aku curahkan semua usahaku pada proyek kecil ini.

hanya saja, aku tidak sendiri. ada irvan dan budi yang terperangkap di kelompok yang sama denganku untuk menyelesaikan tugas ini. sialnya, aku tidak terlalu dekat dengan mereka berdua walau kami satu kelas sepanjang tahun ajaran baru. yang kutahu tentang mereka hanya sebatas: irvan adalah badut kelas yang berbadan tambun, dan budi adalah jenius pemalas yang harus dipecut dengan ancaman-ancaman beragam supaya otaknya fokus pada pelajaran sekolah.

“kamu itu sebenarnya pintar, tapi kamu itu cuma pakai sedikit persen dari kemampuan otak kamu. perlu sering diasah.” Kata budi tadi malam saat kami berkutat dengan kabel yang sepertinya terlilit. oke, harus kuakui lagi, budi yang banyak mengerjakan tugas itu. dia otak di kelompok kami. aku dan irvan hanya jadi semacam asisten buatnya.
“maksud kamu?” tanyaku, walau aku sudah paham apa maksudnya.
“kamu kebanyakan pakai memori otak kamu untuk menyimpan gambaran-gambaran tentang lawan jenis.”
“kenapa kamu gak bilang sesederhana ‘kamu kebanyakan mikirin cewek’ sih?” irvan menimpali.
“kompleksnya kata menandai standar pemakaian otak dan tentu saja tingkat kepintaran.”
“terus, ngapain kamu disini sama kami, kalau kamu memang pintar?”
budi lalu terdiam sambil terus melotot ke arah papan sirkuit sederhana ciptaan kami. menurut budi lagi, proyek pelajaran seperti ini harusnya untuk tingkat sekolah menengah, bukan untuk anak sma seperti kami. yah, apapun itu untuk nilai tinggi, pasti kulakukan.

<<<>>> 

‘di jalan ke sekolah. telat bangun’ teks pesan itu kukirimkan ke irvan dan budi.

rasa-rasanya bukan ide bagus meninggalkan tugas itu di rumah irvan tadi malam. irvan, si badut kelas yang sangat susah menaruh kepercayaan padanya, yang (mungkin) seluruh hidupnya diabdikan pada lelucon-lelucon yang kebanyakan tidak lucu. irvan, si pelawak gagal.

kalau saja tidak turun rintik tadi malam, aku atau budi bersedia membawa pulang tugas kami itu. tapi, memikirkan semuanya akan hancur di tengah jalan hanya karena terkena setetes hujan yang menyusup di antara rangkaian kabel listrik, mengurungkan niat itu. sekali lagi, demi nilai tinggi.

‘sudah di sekolah. cepat! bel sebentar lagi’ balasan pesan dari budi.

saat tiba di sekolah, gerbang utama sudah tertutup. hanya selisih tiga menit dari waktu kedatanganku. tidak ada ampun. sekolahku terkenal akan kedisiplinannya. tamat sudah. nilai tinggi tinggal khayalan. pak sanip yang juga tak kenal ampun itu akan menorehkan tinta merah pulpennya pada laporan akhir semesterku. budi akan mengutukku, irvan akan membuat lelucon tidak lucu tentangku sepanjang sisa semester. kami harus mempresentasikan hasil kerja kami di depan seluruh kelas. kami bertiga. tidak bisa hanya berdua, apalagi seorang.

aku memeras otak untuk mengarang cerita bahkan rayuan pada penjaga gerbang agar meloloskanku masuk ke sekolah, walau selama ini banyak yang sudah mencoba, dan gagal. bahkan banyak pula sogokan yang ditolak oleh penjaga gerbang. dapat darimana sih pihak sekolah ini penjaga gerbang sekeras kepala seperti itu? memikirkan kalau ternyata aku adalah pengecualian bagi penjaga gerbang segera kutepis. penjaga gerbang dengan kumis tebal yang membuat dirinya seperti centeng-centeng di jaman penjajahan itu tidak akan termakan omong kosongku, pemuda kurus dengan ekspresi wajah seperti pemadat.

setengah berlari, kususuri deretan pagar tinggi sepanjang sekolah. aku pernah melihatnya. di samping sekolah, ada celah pada pagarnya. celah yang dengan sangat rapi ditutupi oleh murid-murid pemberontak. aku bisa menyelinap ke dalam melaluinya. Bahkan si centeng di depan gerbang utama itu tidak mengetahui pertahanan sekolah ini lemah karena celah ini. pernah beberapa kali kulihat para pemberontak itu keluar dari celah ini, membolos pada pelajaran tertentu.

‘sudah dekat kelas. irvan bawa tugasnya kan?’ pesanku pada budi tak dijawab. makin bergegas aku menuju kelas sambil berharap pak sanip belum memulai pelajaran.

pelajaran dimulai tak lama setelah aku berhasil sampai di kelas. tak kulihat wajah bodoh irvan di antara teman sekelas lainnya. bangkunya kosong. ini mimpi buruk jadi kenyataan namanya. irvan belum sampai ke sekolah. wajah budi yang mengeras juga menandai kekesalannya. kuberi isyarat padanya, mempertanyakan dimana irvan. budi hanya menaikkan kedua bahunya tanda tidak tahu. dimana si brengsek itu?

memang ide buruk meninggalkan tugas itu padanya. aku yakin sekarang dia masih tergolek sambil mendengkur nyaring di atas tempat tidurnya, tidak menyadari jam sekolah sudah dimulai dari tadi. nilai tinggi benar-benar hanya khayalan.

“irvan sudah di jalan ke sekolah, tapi kok gak nyampe juga sih?” budi menggerutu sambil menarik bangku di sebelahku. presentasi proyek kecil sudah dimulai. bersyukur kelompok kami bukan yang dipanggil pertama.
“ketangkap sama herder gerbang depan kayaknya.” aku hanya mampu menatap kosong ke mejaku. sudah jelas kami gagal di mata pelajaran ini. semua tahu konsekuensi tertangkap penjaga gerbang. proses pelepasan kembali ke kelas tidak mudah. prosedurnya berbelit-belit seperti banyak kantor pemerintahan di negeri ini. yang paling menyiksa adalah melewati serangkaian pencatatan rekor kesalahan di ruang bimbingan konseling. catatan permanen akan tertoreh di ruang itu, hanya karena terlambat beberapa menit tiba di sekolah, apalagi tertangkap si centeng penjaga gerbang. di sanalah irvan berada saat ini. dengan wajah bulat bodohnya, dan semoga semoga semoga saja dia ingat membawa serta tugas yang kami kerjakan sampai menyita waktu tidur kami itu disela-sela kepanikannya bangun terlambat tadi pagi.

“tomi, budi, irvan, giliran kelompok kalian setelah ini.” pak sanip berkata tanpa melihat ke arah kami. tidak disadarinya juga ketidakhadiran irvan di kelas. kami masih punya harapan. semoga proses pelepasan irvan di ruang bimbingan konseling bisa secepatnya.

“pak sanip, pak kepala sekolah perlu bapak sekarang.” wajah penjaga gerbang muncul tiba-tiba dari pintu kelas. demi melihat wajah penjaga gerbang yang serius, pak sanip langsung mengikutinya ke luar kelas tanpa bertanya pada si centeng ataupun meninggalkan pesan untuk tetap di kelas pada kami.

aku yang selalu penasaran melongok ke pintu melihat kepergian pak sanip dan penjaga gerbang. budi mendorongku keluar kelas.
“apaan sih, bud.” kutepis tangan budi.
“sepertinya serius. pengen liat.” budi mengikuti pak sanip dari jauh. beberapa teman sekelas kami mengikuti budi, termasuk aku. keingintahuan kami harus dipenuhi. kami remaja. rasa ingin tahu kami pasti berlebihan.

pak sanip tidak masuk ke ruang kepala sekolah. dia dan si centeng terus berjalan ke arah lain. begitu dia melihat apa yang ditunjukkan oleh si centeng, pak sanip langsung menggeleng-gelengkan kepala. aku dan yang lainnya juga melihat kearah yang ditunjuk si centeng.

di sana, bukan di ruang bimbingan konseling, tapi di celah sempit pada pagar yang tadi pagi kulalui, tubuh tambun irvan terjepit tak dapat bergerak. tangan kanan memegang tas sekolahnya, tangan kiri memegang proyek kecil kami. wajah bodohnya panik, dan mulutnya tak henti berteriak minta tolong. terpingkal-pingkal, kuraih ponsel untuk mengabadikan momen ini.



*bpn, 18 nov. 14*

Selasa, 16 Juli 2013

denial

sometimes, the reality makes people don't want to wake up and smell the coffee, because they are afraid to feel the pain.
they choose to live in the warm blanket of denial instead.
udah tau, tapi berpura-pura gak tau dan gak mau tau.
mungkin buat orang-orang yang kayak gini, hidup di alam mimpi berselimutkan gelembung kebohongan dan pengingkaran terasa lebih nyaman, karena dunia luar menawarkan kebenaran yang menyakitkan.
kejujuran memang menyakitkan dan menghancurkan.
namun setelah seseorang terbiasa dengan kejujuran dan kebenaran, dia akan tersenyum lagi sambil minum teh dan makan kue, sambil mentertawakan kebodohannya saat masih hidup dalam cangkang penyangkalan.
tapi itu nanti, di fase terakhir.
sometimes, acceptance is the hardest thing to do.
not because we can't, but because we just don't want to.
we hold on to things that are no longer there, because we are not ready lo let go.

taken from: the not so amazing life of @amrazing - alexander thian

Kamis, 11 Juli 2013

pak tua

pak tua yang biasanya berbaring di undakan depan deretan toko, tidak kutemui hari ini. kemana kira-kira pak tua itu? apa udara dingin karena hujan sehari semalam jadi sebab tak kulihat dia? sebungkus roti yang kusiapkan dari rumah, yang tadinya berniat kuberikan padanya, masih kupegang.

Kamis, 20 Juni 2013

waktu & rumput


waktu bukan rumput yang bisa diajak berbincang. waktu akan menyeret ragamu, tidak kenanganmu. aku katakan ya, rumput adalah pendengar setia yang akan selalu menari bersama angin  walau kamu ceritakan kesedihan sekali pun.

lucu


aku benci kebiasaannya tertawa sebelum mulai menceritakan hal yang menurutnya lucu. dia tertawa terkekeh, lalu mulai bercerita. ceritanya tidak lucu. sampai pada akhir cerita, aku tidak juga menemukan satu titik kelucuan. tapi, dia tetap tertawa. demi penghargaan atas jerih payah dan waktu dia bercerita, aku ikut tertawa kecil dipaksakan. tanpa menunggu lagi, kualihkan pembicaraan.

nightingale untukku


aku duduk dan bersandar di sofa, memejamkan kedua mata, mendengarkanmu membacakan sebuah nightingale. teh di atas meja yang tadi kau tuang ke dalam dua mug bergambar menara eiffel, yang masing-masing kita akui sebagai mug kita walau pastinya aku dan kamu tak lagi yakin mana yang punyamu dan mana yang milikku, masih mengepulkan asap karena kau seduh seluruhnya dengan air panas.

tak berarti hujan


aku bilang padamu, kamu datang seperti mendung, tak terduga, tak dikira. menutupi cerahnya hari, cerahnya hati tanpa permisi. kamu hanya berdiam tanpa kutahu apa yang ada di benakmu, seperti mendung yang masih belum memutuskan untuk mengirim rintiknya ke bumi, ke hatiku. kemudian, kamu berbalik pergi. benar kata orang, mendung tak berarti hujan.