andai tidak kuabaikan bunyi ‘bip bip’ berulang yang terasa mengesalkan itu, aku tidak akan berada pada situasi sekarang ini. menyesal tidak akan mengembalikan waktu. yang harus kulakukan satu-satunya hanyalah bergegas, sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdegup sangat kencang, mengatasi ketakutanku pada apa yang bisa saja menimpaku nantinya.
bergadang nyaris
semalaman menyelesaikan proyek kecil untuk pelajaran fisika akan jadi sia-sia
kalau aku terlambat ke sekolah pagi ini. sudah perjanjian tak tertulis di kelas
fisika, pak sanip akan mengeluarkan siapapun yang terlambat. aku tak mau
perjuanganku sia-sia. uang saku yang terpaksa tersisih untuk membeli bohlam,
kabel dan beberapa perangkat listrik lainnya, belum lagi harus mengendap-endap
di rumah tetangga yang baru dibangun hanya untuk ‘meminjam’ sebidang kecil
tripleks untuk alas menempelkan si bohlam dan kawan-kawannya, serta yang paling
utama adalah waktu tidur yang terpaksa dikorbankan di atas segalanya. aku suka
tidur. aku bisa tidur dimana saja jika memungkinkan pada saat mataku menyerah
kalah pada kantuk. kenyataan bahwa aku merelakan tidurku tadi malam adalah bentuk
keteguhanku mengerjakan proyek ini.
oke, sejujurnya
tidak sepenuhnya proyek ini kukerjakan dengan keikhlasan seorang murid teladan.
aku mengerjakannya demi mengejar ketinggalanku pada pelajaran ini.
nilai-nilaiku sepanjang semester ini tidak memuaskan. dijanjikan nilai yang
cukup untuk meloloskanku semester ini, maka keberhasilan proyek kecil ini
adalah tiketnya. aku curahkan semua usahaku pada proyek kecil ini.
hanya saja, aku
tidak sendiri. ada irvan dan budi yang terperangkap di kelompok yang sama
denganku untuk menyelesaikan tugas ini. sialnya, aku tidak terlalu dekat dengan
mereka berdua walau kami satu kelas sepanjang tahun ajaran baru. yang kutahu
tentang mereka hanya sebatas: irvan adalah badut kelas yang berbadan tambun,
dan budi adalah jenius pemalas yang harus dipecut dengan ancaman-ancaman
beragam supaya otaknya fokus pada pelajaran sekolah.
“kamu itu sebenarnya
pintar, tapi kamu itu cuma pakai sedikit persen dari kemampuan otak kamu. perlu
sering diasah.” Kata budi tadi malam saat kami berkutat dengan kabel yang
sepertinya terlilit. oke, harus kuakui lagi, budi yang banyak mengerjakan tugas
itu. dia otak di kelompok kami. aku dan irvan hanya jadi semacam asisten
buatnya.
“maksud kamu?”
tanyaku, walau aku sudah paham apa maksudnya.
“kamu kebanyakan
pakai memori otak kamu untuk menyimpan gambaran-gambaran tentang lawan jenis.”
“kenapa kamu gak
bilang sesederhana ‘kamu kebanyakan mikirin cewek’ sih?” irvan menimpali.
“kompleksnya
kata menandai standar pemakaian otak dan tentu saja tingkat kepintaran.”
“terus, ngapain
kamu disini sama kami, kalau kamu memang pintar?”
budi lalu
terdiam sambil terus melotot ke arah papan sirkuit sederhana ciptaan kami.
menurut budi lagi, proyek pelajaran seperti ini harusnya untuk tingkat sekolah
menengah, bukan untuk anak sma seperti kami. yah, apapun itu untuk nilai
tinggi, pasti kulakukan.
<<<>>>
‘di jalan ke sekolah.
telat bangun’ teks pesan itu kukirimkan ke irvan dan budi.
rasa-rasanya
bukan ide bagus meninggalkan tugas itu di rumah irvan tadi malam. irvan, si
badut kelas yang sangat susah menaruh kepercayaan padanya, yang (mungkin)
seluruh hidupnya diabdikan pada lelucon-lelucon yang kebanyakan tidak lucu. irvan,
si pelawak gagal.
kalau saja tidak
turun rintik tadi malam, aku atau budi bersedia membawa pulang tugas kami itu.
tapi, memikirkan semuanya akan hancur di tengah jalan hanya karena terkena
setetes hujan yang menyusup di antara rangkaian kabel listrik, mengurungkan
niat itu. sekali lagi, demi nilai tinggi.
‘sudah di
sekolah. cepat! bel sebentar lagi’ balasan pesan dari budi.
saat tiba di
sekolah, gerbang utama sudah tertutup. hanya selisih tiga menit dari waktu
kedatanganku. tidak ada ampun. sekolahku terkenal akan kedisiplinannya. tamat
sudah. nilai tinggi tinggal khayalan. pak sanip yang juga tak kenal ampun itu
akan menorehkan tinta merah pulpennya pada laporan akhir semesterku. budi akan
mengutukku, irvan akan membuat lelucon tidak lucu tentangku sepanjang sisa
semester. kami harus mempresentasikan hasil kerja kami di depan seluruh kelas.
kami bertiga. tidak bisa hanya berdua, apalagi seorang.
aku memeras otak
untuk mengarang cerita bahkan rayuan pada penjaga gerbang agar meloloskanku
masuk ke sekolah, walau selama ini banyak yang sudah mencoba, dan gagal. bahkan
banyak pula sogokan yang ditolak oleh penjaga gerbang. dapat darimana sih pihak
sekolah ini penjaga gerbang sekeras kepala seperti itu? memikirkan kalau
ternyata aku adalah pengecualian bagi penjaga gerbang segera kutepis. penjaga
gerbang dengan kumis tebal yang membuat dirinya seperti centeng-centeng di
jaman penjajahan itu tidak akan termakan omong kosongku, pemuda kurus dengan
ekspresi wajah seperti pemadat.
setengah berlari,
kususuri deretan pagar tinggi sepanjang sekolah. aku pernah melihatnya. di
samping sekolah, ada celah pada pagarnya. celah yang dengan sangat rapi
ditutupi oleh murid-murid pemberontak. aku bisa menyelinap ke dalam melaluinya.
Bahkan si centeng di depan gerbang utama itu tidak mengetahui pertahanan
sekolah ini lemah karena celah ini. pernah beberapa kali kulihat para
pemberontak itu keluar dari celah ini, membolos pada pelajaran tertentu.
‘sudah dekat
kelas. irvan bawa tugasnya kan?’ pesanku pada budi tak dijawab. makin bergegas
aku menuju kelas sambil berharap pak sanip belum memulai pelajaran.
pelajaran
dimulai tak lama setelah aku berhasil sampai di kelas. tak kulihat wajah bodoh
irvan di antara teman sekelas lainnya. bangkunya kosong. ini mimpi buruk jadi
kenyataan namanya. irvan belum sampai ke sekolah. wajah budi yang mengeras juga
menandai kekesalannya. kuberi isyarat padanya, mempertanyakan dimana irvan. budi
hanya menaikkan kedua bahunya tanda tidak tahu. dimana si brengsek itu?
memang ide buruk
meninggalkan tugas itu padanya. aku yakin sekarang dia masih tergolek sambil
mendengkur nyaring di atas tempat tidurnya, tidak menyadari jam sekolah sudah
dimulai dari tadi. nilai tinggi benar-benar hanya khayalan.
“irvan sudah di
jalan ke sekolah, tapi kok gak nyampe juga sih?” budi menggerutu sambil menarik
bangku di sebelahku. presentasi proyek kecil sudah dimulai. bersyukur kelompok
kami bukan yang dipanggil pertama.
“ketangkap sama
herder gerbang depan kayaknya.” aku hanya mampu menatap kosong ke mejaku. sudah
jelas kami gagal di mata pelajaran ini. semua tahu konsekuensi tertangkap
penjaga gerbang. proses pelepasan kembali ke kelas tidak mudah. prosedurnya
berbelit-belit seperti banyak kantor pemerintahan di negeri ini. yang paling
menyiksa adalah melewati serangkaian pencatatan rekor kesalahan di ruang
bimbingan konseling. catatan permanen akan tertoreh di ruang itu, hanya karena
terlambat beberapa menit tiba di sekolah, apalagi tertangkap si centeng penjaga
gerbang. di sanalah irvan berada saat ini. dengan wajah bulat bodohnya, dan
semoga semoga semoga saja dia ingat membawa serta tugas yang kami kerjakan sampai
menyita waktu tidur kami itu disela-sela kepanikannya bangun terlambat tadi
pagi.
“tomi, budi, irvan,
giliran kelompok kalian setelah ini.” pak sanip berkata tanpa melihat ke arah
kami. tidak disadarinya juga ketidakhadiran irvan di kelas. kami masih punya
harapan. semoga proses pelepasan irvan di ruang bimbingan konseling bisa
secepatnya.
“pak sanip, pak
kepala sekolah perlu bapak sekarang.” wajah penjaga gerbang muncul tiba-tiba
dari pintu kelas. demi melihat wajah penjaga gerbang yang serius, pak sanip
langsung mengikutinya ke luar kelas tanpa bertanya pada si centeng ataupun meninggalkan
pesan untuk tetap di kelas pada kami.
aku yang selalu
penasaran melongok ke pintu melihat kepergian pak sanip dan penjaga gerbang. budi
mendorongku keluar kelas.
“apaan sih,
bud.” kutepis tangan budi.
“sepertinya
serius. pengen liat.” budi mengikuti pak sanip dari jauh. beberapa teman
sekelas kami mengikuti budi, termasuk aku. keingintahuan kami harus dipenuhi. kami
remaja. rasa ingin tahu kami pasti berlebihan.
pak sanip tidak masuk
ke ruang kepala sekolah. dia dan si centeng terus berjalan ke arah lain. begitu
dia melihat apa yang ditunjukkan oleh si centeng, pak sanip langsung
menggeleng-gelengkan kepala. aku dan yang lainnya juga melihat kearah yang
ditunjuk si centeng.
di sana, bukan
di ruang bimbingan konseling, tapi di celah sempit pada pagar yang tadi pagi
kulalui, tubuh tambun irvan terjepit tak dapat bergerak. tangan kanan memegang
tas sekolahnya, tangan kiri memegang proyek kecil kami. wajah bodohnya panik,
dan mulutnya tak henti berteriak minta tolong. terpingkal-pingkal, kuraih
ponsel untuk mengabadikan momen ini.
*bpn, 18 nov.
14*